Lapek Bugih hingga Kue Koci: Warisan Kue Basah Minang yang Sarat Filosofi dan Identitas Budaya

KotaBukittinggi.com – Di tengah gempuran makanan modern dan budaya instan, kuliner tradisional Minangkabau seperti Lapek Bugih dan Kue Koci tetap bertahan sebagai simbol rasa, nilai, dan identitas. Lebih dari sekadar sajian manis, kue basah ini menyimpan filosofi kehidupan yang diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.

Lapek Bugih, Manis di Luar, Lembut di Dalam

Lapek Bugih, salah satu kue tradisional khas Minangkabau, dikenal dengan teksturnya yang lembut dan rasa manis alami dari isiannya. Kue ini biasanya terbuat dari tepung ketan hitam atau putih, dengan isian parutan kelapa yang dicampur gula merah, lalu dibungkus daun pisang dan dikukus hingga matang.

Masyarakat Minang percaya bahwa bentuk dan rasa Lapek Bugih bukan sekadar urusan kuliner, tapi juga sarat makna. Bungkus daun pisang yang sederhana melambangkan kesederhanaan dan kerendahan hati, sedangkan isian yang manis mencerminkan keikhlasan dan ketulusan dalam berbuat baik, meski tidak tampak dari luar.

Kue Koci, Filosofi dalam Gigitan

Tak kalah menarik, Kue Koci juga merupakan bagian penting dari tradisi kuliner Minang yang akarnya berasal dari akulturasi budaya Melayu dan Tionghoa. Meski secara tampilan serupa dengan Lapek Bugih, Kue Koci umumnya menggunakan adonan dari tepung ketan putih dan diisi unti kelapa. Perbedaannya terletak pada lapisan minyak kelapa yang membuat permukaannya licin dan berkilau.

Secara filosofis, masyarakat tua Minangkabau mengajarkan bahwa lapisan licin pada Kue Koci menggambarkan perlunya ketahanan menghadapi tantangan hidup. “Tak selamanya jalan hidup itu lurus, kadang licin dan menantang,” begitu kira-kira makna simboliknya.

Kue Tradisional yang Masih Hadir dalam Tradisi

Lapek Bugih dan Kue Koci biasanya hadir dalam berbagai perayaan adat seperti Batagak Pangulu, pernikahan, atau kenduri kematian. Dalam tradisi Minangkabau, makanan bukan hanya pelengkap acara, tapi juga media penyampai pesan moral dan kebijaksanaan lokal.

Dalam prosesi Batagak Pangulu misalnya, Lapek Bugih disuguhkan sebagai simbol restu kepada penghulu baru, sementara Kue Koci menjadi pelengkap hantaran dalam prosesi lamaran.

Daya Tarik Budaya yang Perlu Dilestarikan

Budayawan dan pemerhati kuliner Minangkabau, Feri Yulian, mengatakan bahwa tantangan pelestarian kue tradisional seperti Lapek Bugih dan Kue Koci saat ini tidak hanya datang dari modernisasi selera, tetapi juga dari minimnya regenerasi pengrajin makanan tradisional.

“Kita butuh peran aktif generasi muda untuk belajar dan melestarikan warisan kuliner ini. Jangan sampai identitas budaya hanya tinggal cerita,” ujarnya.

Fakta Sejarah: Akar dari Masyarakat Agraris

Jika ditelusuri lebih jauh, kehadiran kue basah dalam tradisi Minangkabau tak bisa dilepaskan dari pola hidup masyarakat agraris. Ketergantungan terhadap hasil pertanian seperti kelapa, beras ketan, dan gula aren mendorong lahirnya berbagai kudapan tradisional berbahan dasar alami.

Sejarah mencatat bahwa Lapek Bugih sudah ada sejak abad ke-18 dan berasal dari etnis Bugis yang merantau ke Sumatera Barat. Namun karena diterima oleh masyarakat, kue ini kemudian menjadi bagian dari kekayaan kuliner Minang. Di sisi lain, Kue Koci menyerap unsur budaya Melayu dan dibawa oleh pedagang dari Semenanjung Malaya.

Lapek Bugih dan Kue Koci di Era Digital

Meski berakar dari masa silam, Lapek Bugih dan Kue Koci tetap relevan di era digital. Banyak UMKM di Bukittinggi dan daerah sekitarnya yang mulai memasarkan kue ini lewat media sosial dan platform marketplace.

Salah satu pelaku UMKM asal Aur Kuning, Rani Amelia, mengatakan bahwa permintaan Lapek Bugih meningkat selama bulan Ramadan dan perayaan Hari Raya. “Banyak pelanggan muda yang pesan untuk hantaran atau oleh-oleh. Mereka suka karena rasanya unik dan ‘bercerita’,” ujarnya.

Perlu Dukungan dari Pemerintah Daerah

Untuk menjaga eksistensi kue basah tradisional ini, diperlukan sinergi antara pelaku usaha, komunitas budaya, dan pemerintah. Pemerintah Kota Bukittinggi, melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, telah beberapa kali mengadakan festival kuliner tradisional, namun belum menjadi program yang berkelanjutan.

Ke depan, festival kuliner khas Minangkabau bisa menjadi ajang untuk memperkenalkan kekayaan lokal kepada wisatawan dan generasi muda. Lapek Bugih dan Kue Koci bisa jadi duta budaya yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini.

Mengangkat Kembali Identitas Kuliner Lokal

Dalam menghadapi era globalisasi yang terus mengikis nilai lokal, menjaga tradisi kuliner seperti Lapek Bugih dan Kue Koci bukan sekadar nostalgia. Ini adalah upaya mempertahankan identitas dan filosofi hidup masyarakat Minang yang berakar kuat pada nilai gotong royong, kesederhanaan, dan penghormatan terhadap leluhur.

Sebagai generasi muda, mengenal dan mencintai kue tradisional bukan hanya soal rasa, tapi juga penghargaan terhadap sejarah dan budaya yang membesarkan kita.

  • Total page views: 24,394
WhatsApp
Facebook
Email

Informasi Terbaru

Pilihan Editor